.
Jurusan Ipa Taufik Bukhory Abdoel Hamid Abd Rofik Ach Fauzan Ach Rusbiyanto Aminatus Zuhriyah Badi'atul Husna Dwi Wahyu Setianingshh Erna Herawati Hadi Nasution Hafiluddin Hasan Basri Hidayatullah Khoridatul Bahiyah Idayati Junaidi Abdullah Luqmanul Hakim M Bahruddin Mahrus Alie Mansyur Miftahus Surur M Muhaimin Muammarah Nikmatus Zuhro Nurhasanah Nur Masriyah Nur Ainy Nurul Imamah Nurul Qomariyah Nurul Rohim Ro'is Syafiq Saiful Anwar Sa'diyati Sayana Septi Widayati Siti Hanifah Siti Hariyani Siti Hoiriyah Siti Kotijah Syaiful Haris Jurusan IPS 1 Abd Hatib https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL8HC9iFGTYuRHUNUxHxRe6OHGyKE4ZKgFDAKLIs4ksm_gEZURkHtD1JnqcHCWRIetdNMST_OuePhWQv6iSpMxrStizMqH_I3FbHBjG4HUWRii6WOktUUT9kSMR9-t9nrOYyORVZjf4P0/s320/aida+agustin1.jpg

Friday, February 3, 2017

Tolong Jangan Tanya Kapan Nikah?



Pertanyaan seperti, “kapan nikah?” Biasanya muncul pada momen-momen Lebaran dan hari pernikahan seorang kerabat atau kawan dekat. Di acara tersebut, ketika berkumpul bersama keluarga besar dan para kerabat, ada saja yang senang melestarikan budaya “kepo” (rasa keingintahuan) atau sekadar melontarkan pertanyaan iseng belaka, “kapan nikah?” Ah, belum lagi kawan-kawan yang telah menikah pun ikut-ikutan mengusik ketenangan dengan pertanyaan serupa, “kapan nikah?”, “kapan nyusul?”, “kapan ngundang?”, “kapan mantenan?” Dan pertanyaan-pertantaan lainnya yang serupa itu, sebenarnya pertanyaan tersebut kurang penting untuk ditanyakan kalau tujuannya hanya sekadar iseng atau “kepo”. Malah membuat jengkel dan kesal kalau tidak memberikan solusi atau menawarkan apa yang selama ini diharapkan.

Lain halnya dengan pertanyaan yang ditujukan kepada kerabat atau seorang kawan yang memang sudah lama tidak bertemu. Bila ia mengetahui etika, maka tidak akan melontarkan pertanyaan “kapan nikah?” Tetapi lebih kepada rasa keperduliannya. Ia akan bertanya yang lebih sopan, semisal, “Maaf, apakah Dinda/Kanda/sobat sudah berkeluarga?” Kalau jawabannya sudah, tentu si penanya dapat menyampaikan rasa syukur dan dapat merasakan senang begitu mendengarnya. Namun, jika belum, cukup pertanyaan sampai di situ saja, sembari memberikan semangat dan berdoa untuknya. Bisa saja karena rasa keperdulian, timbul niat dan ide untuk memperkenalkannya dengan seorang kenalan atau kerabat jauh yang lain jenis dan tentunya belum menikah, malah kebetulan sedang mencari jodoh. Itu lebih baik, bukan? Ketimbang hanya “kepo” bertanya, “kapan nikah?”

Tidak semua orang yang masih lajang merasa sudah siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan, apalagi mendapatkan pertanyaan, “kapan nikah?” (Kecuali keluarga dekat, wabil khusus orangtua tak apa bila dirasa perlu bertanya demikian) Tetapi untuk orang-orang diluar sana, helooo…para penanya sudahkah terpikir oleh kalian sebelum bertanya hal tersebut memikirkan dahulu, ada kepentingan apa kalian bertanya, “kapan nikah?” Apakah dengan bertanya demikian yang ditanya bisa segera memberikan jawaban pasti kapan nikah akan berlangsung? Mereka yang sudah menemukan calon pendamping saja belum tentu akan membeberkan rencana pernikahannya pada kalian, apalagi yang masih jomblo, coba kalian renungkan!

Kalaupun ia yang masih lajang sudah merasa siap untuk menikah, bukan berarti pernikahan itu menjadi suatu hal yang lantas begitu saja mudah baginya. Mungkin masih ada hal lain yang belum muncukupi dalam memantapkan niat dan langkahnya untuk menikah. Lebih baik berprasangka baik dan positif saja.

Mungkin juga sebagian para lajang memang belum menemukan calon pendamping hidup untuk diajak bersanding dengannya dalam ikatan pernikahan. Jadi, tolong jangan tanya, “kapan nikah?” Sebab pertanyaan semacam itu hanya akan mengusik ketenangan dan menambah beban pikiran mereka. Jagalah sikap dan tutur kata, sebab dari perkataan dan sebuah pertanyaan dapat mencerminkan diri kita. Seberapa besar rasa sensitifitas (kepekaan) kita dalam merasakan berada pada kondisi orang lain? Tanya hatimu.

Oleh sebab itu, janganlah menganggap enteng suatu perkataan atau pertanyaan yang sekiranya menyangkut privasi oranglain. Seperti pertanyaan soal pernikahan. Pernikahan adalah suatu ikatan atau ikrar perjanjian yang kokoh (mistaqon ghalizah) antara dua insan (laki-laki dan perempuan). Dalam pernikahan membutuhkan komitmen, tanggung jawab, kesetiaan, saling percaya dan menjaga kepercayaan pasangan, saling memahami, rasa cinta dan kasih sayang serta sikap lembut dan tentunya terjalin komunikasi yang baik antar-pasangan.

Jadi, daripada hanya bertanya, “kapan nikah?” Sebaiknya doakan saja dan beri semangat kepada mereka yang belum dipertemukan jodohnya, kalau perlu bantu mereka menemukan jalan atau cara yang baik untuk menjemput calon pasangan hudupnya.

Semoga bermanfaat.


Wahai saudaraku siapakah yang tidak ingin menikah?. Karena telah di amanatkan Rasulullah dalam haditsnya:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص قَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ اَتَزَوَّجُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اُصَلِّى وَ لاَ اَنَامُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اَصُوْمُ وَ لاَ اُفْطِرُ، فَبَلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: مَا بَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا. لكِنّى اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اُصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَتَزَوَّجُ النّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنّى. (احمد و البخارى و مسلم)

Dan dari Anas, bahwasanya ada sebagian shahabat Nabi SAW yang berkata, “Aku tidak akan kawin”. Sebagian lagi berkata, “Aku akan shalat terus-menerus dan tidak akan tidur”. Dan sebagian lagi berkata, “Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Bagaimanakah keadaan kaum itu, mereka mengatakan demikian dan demikian ?. Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan akupun mengawini wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, bukanlah dari golonganku”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].



By: Abdoel Hamid

0 comments:

Post a Comment